KETUA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Zulfadli, menarik perhatian publik Aceh saat memimpin sidang paripurna pada Jumat malam (21/2). Dengan emosi yang meluap-luap, kader Partai Aceh ini berbicara dengan nada tinggi dan gerakan tangan yang dramatis, menolak penunjukan Alhudri sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh. Surat Keputusan (SK) penunjukan Alhudri telah diteken oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dan diserahterimakan oleh Wakil Gubernur, Fadhlullah, pada Rabu (19/2).
Zulfadli tampaknya tidak menerima pergantian Muhammad Diwarsyah, yang sebelumnya menjabat sebagai Plt Sekda Aceh, dengan Alhudri. Ia menuding adanya kekeliruan administrasi yang dalangi oleh Wakil Gubernur Fadhlullah. Bahkan, Zulfadli menuduh penunjukan Alhudri sebagai bagian dari agenda terselubung Fadhlullah dan Partai Gerindra. Hingga saat ini, Fadhlullah, yang juga merupakan Ketua Partai Gerindra Aceh, belum memberikan tanggapan atas tudingan tersebut.
Di sisi lain, Juru Bicara Gubernur Aceh, T. Kamaruzzaman, menegaskan bahwa pengangkatan Alhudri sebagai Plt Sekda Aceh telah melalui pertimbangan matang dari Gubernur Muzakir Manaf. Menurut Kamaruzzaman, yang akrab disapa Ampon Man, Gubernur telah mengeluarkan surat keputusan resmi yang sah secara hukum. Dalam hukum administrasi negara, setiap keputusan gubernur yang telah ditandatangani dianggap sah dan benar berdasarkan asas praesumptio iustae causa. Artinya, keputusan tersebut harus dihormati dan dilaksanakan hingga ada pembuktian sebaliknya.
Apa Latar Belakang Perlawanan Zulfadli?
Publik Aceh pun bertanya-tanya: apa yang sebenarnya melatarbelakangi perlawanan Zulfadli? Mengapa tiba-tiba ia bersikap begitu vokal menentang keputusan Muzakir Manaf, yang tak lain adalah Ketua Umum Partai Aceh—partai yang telah memberinya tangga politik hingga ia bisa menduduki posisi sebagai Ketua DPRA?
Kekhawatiran publik Aceh semakin besar. Keributan yang disulut oleh Zulfadli berpotensi mengganggu masa awal pemerintahan Muzakir Manaf dan Fadhlullah. Implikasi lebih jauh, kegaduhan ini bisa merusak hubungan harmonis antara Gubernur Aceh dengan Presiden Prabowo Subianto, yang merupakan Ketua Umum Partai Gerindra. Padahal, hubungan yang baik antara pemerintah daerah dan pusat sangat penting untuk memastikan pembangunan Aceh berjalan lancar.
Publik Aceh tentu tidak menginginkan adanya pihak-pihak yang mengganggu kelancaran pemerintahan, apalagi di masa-masa awal seperti ini. Ketua DPRA seharusnya mengedepankan cara-cara yang lebih beradab dan konstruktif dalam menyelesaikan masalah. Mengedepankan emosi dan berbicara dengan nada tinggi di forum terhormat seperti sidang paripurna DPRA bukanlah pilihan yang bijak. Aceh membutuhkan pemimpin yang mampu menjaga martabat dan stabilitas, bukan menciptakan kegaduhan yang justru merugikan rakyat.
Harapan untuk Aceh yang Lebih Baik
Kita berharap Ketua DPRA Zulfadli dapat menahan diri dan mengedepankan dialog yang santun serta solutif. Aceh membutuhkan pemimpin yang mampu menjaga harmoni dan fokus pada pembangunan, bukan pertikaian yang hanya menguras energi dan waktu. Mari kita jaga bersama stabilitas pemerintahan Aceh demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
—
Komentar