*Oleh: Cut Intan Sari*
Kelaparan yang melanda Gaza bukan bencana alam, melainkan kejahatan kemanusiaan yang dirancang dengan sengaja. Di tengah deru bom dan blokade yang mencekik, warga Gaza menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa. Mereka berdiri kokoh, meski tubuh mereka remuk oleh serangan dan perut mereka kosong oleh kelaparan sistematis. Gaza bukan sekadar nama tempat—ia adalah simbol perlawanan yang tak pernah padam sejak Nakba pertama mengguncang Palestina lebih dari tujuh dekade lalu.
Sejak awal 2024, rezim Zionis Israel memperluas kekejaman mereka di Jalur Gaza. Ini bukan lagi sekadar serangan militer, melainkan eksperimen keji untuk mematahkan semangat rakyat Palestina. Blokade total, penghancuran dapur umum, sabotase bantuan kemanusiaan, dan serangan terhadap fasilitas sipil telah menjebak 2,4 juta jiwa dalam lingkaran penderitaan. Anak-anak tak lagi mati hanya karena peluru, tetapi karena tubuh kecil mereka tak kuat menahan lapar dan kekurangan gizi. Ini adalah genosida yang berjalan perlahan, namun pasti.
Tragedi ini bukan sekadar konflik politik; ini adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Truk-truk bantuan kemanusiaan menumpuk di perbatasan, tak pernah sampai ke tangan mereka yang kelaparan. Laporan Komite Khusus PBB bahkan menyebut situasi ini sebagai “Nakba Kedua”—sebuah pengusiran, kelaparan, dan pembantaian yang dirancang lebih sistematis. Namun, yang lebih memilukan adalah sikap dunia, terutama para pemimpin Muslim, yang memilih diam atau terjebak dalam retorika kosong tanpa tindakan nyata.
Dunia Islam, dengan segala kekuatan militernya, kekayaan alamnya, dan jumlah umatnya yang miliaran, justru terpecah. Banyak negara Muslim lebih memilih menjalin hubungan dengan penjajah demi keuntungan politik dan ekonomi, mengorbankan solidaritas umat. Di tengah jerit Gaza yang kian meredup, nilai-nilai Hak Asasi Manusia yang digaungkan PBB seolah tak berlaku bagi umat Islam. Ketika yang tertindas adalah Muslim, dunia memilih bungkam.
Allah SWT telah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 190:
*”Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”*
Ayat ini adalah seruan bahwa pembelaan terhadap saudara seiman tak cukup dengan doa dan donasi. Dibutuhkan keberanian politik, bahkan kekuatan militer jika perlu, untuk menghentikan kezaliman.
Mengapa dunia Islam begitu lemah? Bukan karena kurangnya sumber daya, tetapi karena absennya kehendak politik yang bersatu. Negara-negara Islam tercerai-berai, tanpa satu suara, tanpa satu pemimpin, tanpa visi perjuangan yang jelas. Sistem sekuler dan kapitalistik telah melemahkan umat, menjadikan mereka penonton pasif atas penderitaan Gaza.
Solusi nyata bagi Gaza dan Palestina adalah kembalinya kepemimpinan Islam melalui Daulah Khilafah. Hanya dengan persatuan politik, ekonomi, dan militer, umat Islam dapat menghentikan kekejaman Zionis secara menyeluruh. Khilafah bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan kebutuhan strategis untuk melindungi kehormatan, tanah air, dan hak hidup umat Islam.
Gaza tidak butuh air mata. Gaza butuh tindakan nyata. Dunia Islam harus memilih: menjadi penutup mata atas genosida atau menjadi pembela yang menghentikan penjajahan. Saatnya umat Islam bangkit, bukan hanya untuk Gaza, tetapi untuk martabat seluruh umat.
*Wallahu a’lam bish-shawab.*
*Penulis adalah Pegiat Literasi dan Pemerhati Islam, tinggal di Banda Aceh.*
Komentar