menyediakan pelayanan kesehatan jiwa yang manusiawi dan terfokus pada pemulihan menyeluruh,” kata M. Nasir.
Sementara itu, Direktur Rumah Sakit Jiwa Aceh, dr. Hanif, menjelaskan bahwa lahan seluas 26 hektar milik RSJ Aceh yang semula direncanakan sebagai pusat layanan rumah sakit, kini difokuskan menjadi pusat rehabilitasi terpadu sesuai RPJM 2025–2030.
“Awalnya ini dirancang sebagai rumah sakit umum untuk layanan kesehatan jiwa. Tapi sekarang diarahkan menjadi tempat rehabilitasi terpadu. Selain ODGJ yang sudah sembuh secara klinis, nanti korban Napza juga akan direhabilitasi di sini,” ujar dr. Hanif.
Ia menuturkan bahwa sejumlah instansi telah memberikan dukungan dalam pengembangan fasilitas ini.
“Kami dibantu beberapa SKPA. Misalnya, Dinas Pertanian memberikan traktor, Dinas Peternakan dan Energi memberikan lampu penerangan dan bibit tanaman. Pasien kami tanam sayur, hasil jualannya. Uangnya mereka pakai untuk belanja ke rumah sakit, minum kopi, beli baju. Ini bentuk pemberdayaan nyata,” ujar dr. Hanif.
Namun, dr. Hanif juga mengakui bahwa tantangan dalam merawat ODGJ masih besar, terutama karena stigma sosial dan keterbatasan ekonomi keluarga.
“Kadang orang tua mereka sudah meninggal, dan keluarga tidak sanggup merawatnya. Bahkan, ada anggapan bahwa kehadiran mereka mengganggu ketenangan kampung. Kami merasa bahwa kamilah yang harus menjaga mereka,” tegasnya.
Data Rumah Sakit Jiwa Aceh menunjukkan terdapat sekitar 22 ribu kasus gangguan jiwa di Aceh, dengan lebih dari 50 persen tergolong berat. Hal ini menjadi dasar pentingnya pusat rehabilitasi seperti di Kuta Malaka.
“Standar pelayanan minimal 100 persen wajib terpenuhi. Kami sadar fasilitas di kabupaten/kota masih terbatas. Oleh karena itu, kami sampaikan kepada bupati dan wali kota, jika dibutuhkan, kami siap membantu,” ujar dr. Hanif.
Dr Hanif juga menegaskan dukungan terhadap program penghapusan pasung yang dicanangkan pemerintah. Di mana ditargetkan penghapusan pasung bisa tuntas di tahun 2025. “Tolong bantu para polem-polem ini agar bisa sembuh dan hidup mandiri.”
Peresmian ini menandai langkah maju dalam upaya Pemerintah Aceh menghadirkan pelayanan kesehatan yang berjiwa lebih manusiawi, terintegrasi, dan memberdayakan. Harapannya, Instalasi Rehabilitasi Terpadu Kuta Malaka dapat menjadi model inspiratif bagi daerah lainnya.
Acara peresmian tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pejabat lintas sektor, di antaranya Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kadis Koperasi dan UKM, Kepala Dinas Peternakan, Kepala DRKA, Kepala Biro Hukum, serta tokoh masyarakat seperti Adun Mukhlis, Ketua KPA Aceh Besar. []
Komentar